Kasus Dugaan Korupsi Mega Mall dan PTM Bengkulu, Mantan Kepala BPN Kota Diperiksa

BERITA, HEADLINE, HUKRIM51 Dilihat

Bengkulu, Tintabangsa.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu melalui Bidang Tindak Pidana Khusus telah menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu.

Keenam tersangka tersebut adalah:

  1. Ahmad Kanedi, mantan Wali Kota Bengkulu
  2. Kurniadi Benggawan, Direktur Utama PT Trigadi Benggawan
  3. Hariadi Benggawan, Direktur PT Trigadi Benggawan
  4. Satriadi Benggawan, Komisaris PT Trigadi Benggawan
  5. Chandra D. Putra, mantan pejabat BPN Kota Bengkulu (saat itu menjabat Kasi Pengukuran)
  6. Wahyu Laksono, Direktur PT Dwisaha Selaras Abadi

Penyidikan masih terus berlanjut. Terbaru, penyidik memeriksa Ammarullah, mantan Kepala BPN Kota Bengkulu. Pemeriksaan dilakukan di kediaman Ammarullah, di Jalan Sarirasa I, Sukasari, Bandung, Jawa Barat.

“Pemeriksaan terhadap yang bersangkutan masih sebagai saksi. Saat itu, ia menjabat sebagai Kepala BPN Kota Bengkulu,” ujar Kasi Penkum Kejati Bengkulu, Ristianti Andriani, Senin (23/6/2025).

Terkait kemungkinan status tersangka, pihak Kejati belum memberikan penjelasan lebih lanjut. Namun, Ammarullah diketahui memiliki keterkaitan dengan salah satu tersangka, Chandra D. Putra, yang saat itu merupakan bawahannya di BPN.

Diketahui, aset Mega Mall dan PTM tersebut telah diagunkan ke beberapa bank sejak tahun 2004. Empat institusi perbankan telah dimintai keterangan sebagai saksi dalam perkara ini.

Kasus ini bermula dari perubahan status lahan Mega Mall dan PTM dari Hak Pengelolaan Lahan (HPL) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) pada 2004. SHGB tersebut kemudian dipecah menjadi dua: satu untuk Mega Mall dan satu untuk pasar. Kedua SHGB tersebut kemudian diagunkan ke beberapa bank oleh pihak ketiga. Ketika terjadi kredit macet, SHGB kembali diagunkan ke bank lain hingga menimbulkan utang kepada pihak ketiga.

Selain itu, sejak bangunan tersebut berdiri, pihak pengelola juga tidak pernah menyetor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas daerah. Akibatnya, negara mengalami kerugian yang ditaksir mencapai sekitar Rp150 miliar. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *