Blitar.tintabangsa.com – Proyek pembangunan Jembatan Dawuhan di Desa Dawuhan, Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar, yang bernilai kontrak sebesar Rp 7,4 miliar, kini menghadapi masalah serius yang belum terselesaikan. Proyek yang seharusnya menjadi salah satu solusi infrastruktur di daerah tersebut justru menjadi sorotan karena belum adanya kejelasan mengenai pembayaran gaji para pekerjanya selama delapan bulan terakhir.
Proyek ini didanai melalui dana hibah dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada tahun 2023 dan dialokasikan untuk Kabupaten Blitar. Namun, sejak awal pelaksanaannya, proyek ini sudah diwarnai dengan berbagai kendala, baik dari segi administrasi, proses tender, hingga tahap pengerjaan.
Salah satu masalah utama yang muncul adalah para pekerja proyek yang belum menerima gaji sejak Agustus 2023 hingga Maret 2024. Situasi ini sangat memprihatinkan, mengingat proyek ini seharusnya mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
Seorang pekerja proyek, yang berinisial YY, menjadi perwakilan dari rekan-rekannya untuk menyuarakan keluhan mereka. YY mengungkapkan melalui media sosial mantan Wakil Bupati Blitar, Rahmat Santoso, bahwa ia dan rekan-rekannya belum mendapatkan upah sejak mereka mulai bekerja. Menurut YY, mereka telah mencoba menghubungi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk mencari solusi, namun upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Keluhan ini disampaikan YY dalam bentuk pesan langsung kepada Rahmat Santoso, yang kini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI).
Rahmat Santoso, yang menerima keluhan tersebut, menyatakan bahwa dirinya merasa prihatin atas situasi yang dialami para pekerja. Ia menegaskan bahwa meskipun dirinya yang menghubungi BNPB untuk mendapatkan proyek ini, ia tidak terlibat langsung dalam pengelolaan proyek tersebut. Rahmat menyebutkan bahwa pengelolaan proyek sepenuhnya berada di tangan Gus Ison dan Pak Sigit, dua orang yang seharusnya bertanggung jawab atas jalannya proyek tersebut. Ia juga mengkritik tenggat waktu penyelesaian proyek yang dianggapnya tidak realistis, mengingat jembatan tersebut harus diselesaikan dalam waktu 120 hari.
Saya memang yang menghubungi BNPB untuk proyek ini, tapi yang mengelola semua adalah Gus Ison dan Pak Sigit. Mana mungkin jembatan ini bisa selesai dalam 120 hari, seperti cerita Bandung Bondowoso yang harus membangun 1.000 candi dalam satu malam,” ujar Rahmat Santoso pada Selasa (27/08/2024).
Menanggapi masalah ini, Rahmat Santoso mengaku telah melaporkannya kepada Aparat Penegak Hukum (APH). Ia menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki hubungan langsung dengan proyek tersebut dan menyarankan agar pihak-pihak yang bertanggung jawab seperti Gus Ison, Pak Sigit, dan kontraktor proyek lebih terbuka dan kooperatif dalam menyelesaikan masalah ini.
Di sisi lain, Kepala BPBD Kabupaten Blitar, Ivong Bertyanto, hingga saat ini belum memberikan pernyataan resmi terkait permasalahan ini. Padahal, BPBD Kabupaten Blitar menerima dana bantuan dari BNPB untuk proyek rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) dua jembatan di Kabupaten Blitar dengan total nilai Rp 12,6 miliar. Proyek tersebut meliputi rekonstruksi Jembatan Dawuhan di Kecamatan Kademangan sebesar Rp 7,4 miliar dan rehabilitasi Jembatan Tunjung di Kecamatan Udanawu dengan anggaran sekitar Rp 4 miliar.
Dana bantuan tersebut sebenarnya telah masuk ke kas daerah pada Desember 2022, namun baru dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada awal tahun 2023. Akibat keterlambatan dalam proses tender dan administrasi, pemenang tender baru ditetapkan pada Juli 2023 dan pekerjaan baru dimulai pada Agustus 2023. Hal ini membuat kontraktor pemenang tender, CV Anindika Pratama dari Banda Aceh, hanya memiliki waktu 120 hari atau 4 bulan hingga 22 Desember 2023 untuk menyelesaikan proyek jembatan dengan panjang 35 meter dan lebar 7 meter.
Selain masalah keterlambatan pekerjaan, kontraktor tersebut juga menghadapi sanksi dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) RI. Sanksi ini diberikan selama satu tahun, mulai dari 25 Agustus 2023 hingga 25 Agustus 2024, yang menambah daftar panjang permasalahan dalam proyek ini.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait tata kelola proyek pemerintah dan bagaimana seharusnya mekanisme pengawasan dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Hingga saat ini, para pekerja yang belum menerima hak mereka terus menunggu kepastian dan solusi dari pihak-pihak terkait yang bertanggung jawab atas proyek ini.(WD)