Pengembangan Bahan Ajar Dalam Pendidikan Agama Islam: Menjawab Tantangan Zaman dengan Inovasi dan Kearifan Lokal

Pendidikan adalah proses pembentukan manusia. Pendidikan agama Islam, secara khusus, memiliki mandat untuk menanamkan nilai-nilai tauhid, akhlak mulia, dan tanggung jawab sosial dalam diri peserta didik. Namun, hari ini kita hidup dalam era yang sangat kompleks: era globalisasi, digitalisasi, dan nilai pluralisme. Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah bahan ajar Pendidikan Agama Islam kita saat ini mampu menjawab tantangan zaman? Apakah cukup fleksibel untuk merespons dinamika masyarakat yang terus berubah?.

Mengutip dari Imam Al-Ghazali melalui karya monumentalnya yaitu Ihya Ulumuddin, beliau menyampaikan bahwa tujuan pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kebajikan dan membentuk manusia sempurna atau insan kamil (Faza, 2021). Penjelasan Imam Al-Ghazali tersebut menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi proses penyucian jiwa dan pembentukan akhlak mulia. Ini menjadi dasar utama dalam pengembangan bahan ajar PAI yang tidak hanya bersifat informatif, tetapi juga transformatif. Sayangnya, hingga hari ini masih banyak bahan ajar yang digunakan oleh para guru maupun dosen ditingkat universitas yang bersifat tekstual, normatif, dan kering dari konteks kehidupan nyata. Akibatnya, pendidikan agama Islam kerap dianggap terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari, sehingga menurut saya hal ini menjadi refleksi kritis kita bersama.

Para hadirin yang saya muliakan, pendidikan Agama Islam memiliki peran sentral dalam membentuk karakter, akhlak, dan spiritualitas peserta didik. Namun, saat ini kita hidup di era digital yang sangat cepat berubah, era disrupsi, dan era keterbukaan informasi. Sehingga selanjutnya, muncul satu pertanyaan mendasar: Apakah bahan ajar Pendidikan Agama Islam kita masih relevan dengan kebutuhan zaman yang kita saat ini maupun ke masa yang akan datang?.

Pengembangan bahan ajar dalam Pendidikan Agama Islam bukan sekadar urusan administratif atau teknis. Ini adalah persoalan ideologis, pedagogis, dan kultural. Menurut tela’ah para ahli (Zain dkk, 2025; Ramdani dkk, 2025; Umam & Husain, 2024), beberapa problem utama tentang bahan ajar di bidang pendidikan agama Islam adalah sebagai berikut:

1.Ketimpangan antara Ideal dan Realitas
Banyak bahan ajar yang masih idealistik dan kurang membumi. Nilai-nilai Islam disampaikan secara abstrak tanpa konteks konkret yang mudah dipahami peserta didik.

2.Kurangnya Sensitivitas Kontekstual
Dalam masyarakat multikultural dan multiagama, bahan ajar bidang Pendidikan Agama Islam belum cukup sensitif terhadap pluralitas sosial. Akibatnya, narasi keislaman menjadi sempit dan eksklusif.

3.Minimnya Partisipasi Digital
Masih banyak buku dan modul ajar yang belum terintegrasi dengan teknologi digital. Di tengah generasi Z dan Alpha yang tumbuh bersama gadget atau gawai, pendekatan konvensional tentu tidak lagi memadai.

4.Materi yang Monoton dan Kurang Humanis
Banyak materi ajar terlalu fokus pada aspek hukum dan fiqh, namun kurang menekankan nilai-nilai spiritual, cinta kasih, keadilan, dan etika sosial. Dalam kesempatan ini, saya juga mengutip tulisan lainnya dari Imam Al Ghazali yaitu Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan (Lubis, 2025). Kaitan dari kutipan tersebut dengan penbahasan bahan ajar PAI dalam orasi ilmiah ini yaitu sebagai refleksi atas ketimpangan antara isi bahan ajar yang kognitif semata, tanpa mampu membentuk kesadaran etis dan praksis dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan hasil beberapa riset yang kami lakukan dalam beberapa tahun terakhir dan juga didukung oleh banyak referensi, beberapa tantangan yang dihadapi saat ini terkait tantangan yang dirasakan pada materi ajar pendidikan agama Islam antara lain: (1) Keterbatasan Konteks Aktual, karena banyak bahan ajar yang masih bersifat normatif, belum dikaitkan dengan realitas sosial dan tantangan moral kontemporer (Ahida dkk, 2025); (2) Minimnya Integrasi Teknologi, masih banyaknya bahan ajar PAI yang bersifat tekstual dan kurang interaktif (Abas, 2025); (3) Kurangnya diferensiasi yaitu bahan ajar belum sepenuhnya mengakomodasi keragaman latar belakang peserta didik (Sahin, 2018); (4) Kurangnya Nilai Kritis dan Humanis, yang mana pendidikan agama seharusnya tidak hanya mengajarkan hafalan, tapi juga pemahaman mendalam yang membentuk kesadaran dan kepedulian (Tan & Ibrahim, 2018).

Untuk itu, pengembangan bahan ajar Pendidikan Agama Islam harus diarahkan pada tiga pilar utama yaitu Inovatif, yang mana penggunaan media digital, video interaktif, aplikasi pembelajaran, serta metode gamifikasi perlu dioptimalkan. Materi-materi seperti tafsir tematik, fiqih kontemporer, dan etika digital bisa dikemas dalam bentuk yang menarik dan mudah dipahami. Yang kedua adalah Kontekstual, sehingga materi harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Isu-isu seperti lingkungan, toleransi beragama, literasi digital, bahkan etika bermedia sosial harus masuk dalam narasi Pendidikan Agama Islam. Yang terakhir adalah Humanis, yang mana bahan ajar harus membentuk nilai-nilai kasih sayang, keadilan, empati, dan persaudaraan. Pendidikan agama bukan hanya untuk menghafal ayat, tetapi untuk membentuk manusia yang arif, bijak, dan berakhlak mulia.

Sisi lainnya yang dianggap penting juga terkait pengembangan bahan ajar PAI adalah tentang Strategi Implementasi. Beberapa langkah strategis dalam pengembangan bahan ajar PAI berdasarkan rekomendasi dari para ahli dibidangnya yaitu berdasarkan Riset dan Analisis kebutuhan yang Melibatkan guru, siswa, dan lingkungan sosial dalam proses penyusunan. Selanjutnya dapat juga melaksanakan Kolaborasi Multidisipliner dengan Menggandeng ahli pendidikan, psikologi, teknologi, dan budaya. Selaras dengan yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Penyusunan Modul PAI di zaman ini harus Adaptif, yaitu  mengembangkan modul yang fleksibel dan bisa diadaptasi untuk berbagai jenjang dan kondisi peserta didik. Tidak lupa juga Evaluasi dalam bahan ajar yang dikembangkan mesti berbasis refleksi dan mendorong evaluasi yang tidak hanya mengukur kognitif, tetapi juga afektif dan spiritualitas. 

Beberapa ahli pendidikan agama Islam nasional maupun internasional dalam beberapa dekade terakhir juga kerapkali menggaungkan tentang integrasi keilmuan islam dan sains (Abdullah, 2014; Mufid, 2014) . Namun yang masih menjadi PR besar para akademisi adalah bahwa mengintegrasikan PAI dengan sains bukanlah sekadar menempelkan ayat pada teori ilmiah, tapi membangun kerangka berpikir integratif yang menempatkan wahyu dan akal sebagai sumber kebenaran yang saling mendukung. Seperti yang dikatakan Professor Fazlur Rahman dari Universitas Chicago dalam tulisan Panjwani (2025): “Integrasi ilmu tidak mungkin terjadi kecuali jika kita memahami bahwa wahyu dan rasio bukan musuh, tetapi mitra dalam pencarian kebenaran.”

Adapun, kesimpulannya adalah, Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam diera konstruktif dan persaingan global terbuka haruslah memiliki misi yang kontekstual, fleksibel, adaptif dan mencerahkan. Pengembangan bahan ajar dalam Pendidikan Agama Islam adalah tanggung jawab kita bersama sebagai pendidik, peneliti, dan penggerak peradaban. Kita tidak hanya bertugas mentransfer ilmu, tetapi membentuk manusia yang mampu hidup dengan nilai, moral, dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 269: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.”

Maka dari itu mari kita hadirkan bahan ajar dibidang pendidikan Islam yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menghidupkan hati dan berbasis cinta, sebagaimana yang kerapkali di sampaikan oleh bapak menteri agama Republik Indonesia Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar dalam beberapa bulan terakhir diberbagai kesempatan, yaitu agama yang mengajarkan tidak hanya kelimuan dan praktik, tapi juga cinta kasih, yang tidak hanya mendidik dalam ruang kelas, tetapi menyiapkan generasi- generasi untuk menghadapi kehidupan dunia yang baik dan juga di akhirat.

“Demikian orasi ilmiah yang dapat saya sampaikan, terima kasih atas kesempatan dan perhatiannya. Sebelum menutup orasi ilmiah ini, izinkan saya menyampaikan ucapan terima kasih saya kepada suami tercinta Prof. Dr. H. Sirajuddin. M.M, M.Ag, MH atas dukungan serta dorongan yang diberikan mulai dari studi S1, lanjut studi S2 dan S3, bahkan ketika sempat gagal pada studi S3 pertama dan kembali melanjutkan S3 kedua saya, beliau senantiasa menenangkan dan memberikan dukungan penuh kepada saya. Terakhir ketika akan mengajukan usulan guru besar, saya juga pamit dan minta pertimbangan dari beliau dan Alhamdulillah beliau merestui langkah besar nan panjang ini. Selanjutnya kepada anak- anak dan menantu kami yang kebetulan semuanya juga berprofesi sebagai dosen, M. Arif Rahman Hakim, Ph.D, Ade Riska Nur Astari, M.Pd, Ulya Rahmanita, M.Pd, Dondi Kurniawan M. Eng, Apt. Anis Akhwan Dhafin, M. Farm dan Elsa Mahardika Putri, M. Farm atas semua cinta yang diberikan dengan caranya masing- masing, sehingga saya dapat tetap konsisten didunia akademik hingga hari ini. Tidak lupa juga para cucu kami, Nafla Qatrunnada El Siradj, Kairo Mafazan Adya, Nayyara Mufidah Elsiradj dan Farah Namira Annesa yang selalu mentransfer energi positif pada neneknya yang mana cara- cara tersebut terbukti ampuh dalam rangka mendukung saya hingga mencapai titik ini. Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih atas dukungan keluarga besar almarhum Haji Muhammad Munaseh dan almarhumah Hajah Sa’adah dari Brebes, yang telah mendukung konsistensi saya sedari awal dalam menempuh jalan sebagai seorang akademisi. Terakhir tentu tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Menteri Agama Republik Indonesia, Rektor, ketua senat dan seluruh jajaran pimpinan UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu, yang telah memberikan dukungan secara moril dan karir kepada saya untuk mencapai jabatan akademik tertinggi di universitas yaitu guru besar, insya Allah semua kebaikan yang bapak ibu telah berikan akan dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat, aamiiinnn. Saya percaya bahwa raihan jabatan Guru besar ini bukanlah akhir dari petualangan akademik saya, namun merupakan titik awal agar selanjutnya saya dapat semakin bermanfaat dalam menjalankan tugas utama saya sebagai dosen yaitu mengajar, meneliti atau mempublikasi dan melaksanakan pengabdian masyarakat. Demikan yang dapat saya sampaikan, mohon maaf jika terdapat perkataan yang kurang berkenan, kepada Allah saya mohon ampun. “Salah Satu kunci dalam pilar stabilitas Bangsa adalah perempuan yang taat, terdidik & kuat“. Billahi taufiq wal hidayah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

(Orasi Ilmiah ini disampaikan pada pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Hj. Asiyah, M.Pd sebagai Guru Besar/ Profesor rumpun ilmu pengembangan bahan ajar PAI  di UINFAS Bengkulu, 16 September 2025)

DAFTAR PUSTAKA
Abas, S. Z. B. (2025). Integrasi Teknologi Digital dalam Pengembangan Sumber Belajar PAI yang Kontekstual dan Relevan. At-Tarbiyah: Jurnal Penelitian dan Pendidikan Agama Islam, 2(2), 391-402
Abdullah, M. A. (2014). Religion, science, and culture: An integrated, interconnected paradigm of science. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 52(1), 175-203
Ahida, R., Hanani, S., Rozi, S., Burhanuddin, N., & Sesmiarni, Z. (2025). Dialektika Keilmuan dalam Pendekatan Lokalitas dan Kontemporer. Uwais Inspirasi Indonesia
Faza, N. (2021). Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali; Telaah Kitab Ihya Ulumuddin. Dirosat: Journal of Islamic Studies, 6(2), 35-51
Lubis, M., & Widiawati, N. (2020). Integrasi Domain Afektif Taksonomi Bloom dengan Pendidikan Spiritual Al-Ghazali (Telaah Kitab Ayyuhal Walad). Integrasi Domain Afektif Taksonomi Bloom Dengan Pendidikan Spiritual Al-Ghazali (Telaah Kitab Ayyuhal Walad), 5(1), 41-56
Panjwani, F. (2012). Fazlur Rahman and the search for authentic Islamic education: A critical appreciation. Curriculum inquiry, 42(1), 33-55
Ramdani, E. S., Nurshobahi, H., & Bariyah, K. (2025). Kebijakan Inovasi dalam Pengelolaan Pendidikan Agama Islam. PT Arr Rad Pratama
Sahin, A. (2018). Critical issues in Islamic education studies: Rethinking Islamic and Western liberal secular values of education. Religions, 9(11), 335
Tan, C., & Ibrahim, A. (2017). Humanism, Islamic education, and Confucian education. Religious Education, 112(4), 394-406
Umam, R., & Husain, A. M. (2024). Pengintegrasian kearifan lokal dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam: Kritikalitas dan alternatif solusi berdasarkan literatur. ABHATS: Jurnal Islam Ulil Albab, 5(2), 1-12
Zain, N. H., Iswantir, I., Wati, S., & Zakir, S. (2025). Reformasi dan Arah Baru Pendidikan Agama Islam Masa Depan. Invention: Journal Research and Education Studies, 494-514

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *