LBHPB Mendesak Hukuman Maksimal Tersangka Kekerasan Seksual, Apresiasi Komitmen Pemerintah Kota Bengkulu

Bengkulu, 4 Agustus 2025 – Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Bengkulu (LBHPB) secara resmi menyampaikan tanggapan atas perkembangan kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum pejabat di lingkungan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Bengkulu. Kasus ini semakin mempertegas pentingnya pengawasan dan reformasi lembaga pelindung perempuan dan anak, setelah pelaku resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.

“Kami mendesak agar pelaku dijatuhi hukuman maksimal sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan fakta yang terjadi , karena perbuatan yang dilakukan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga telah menghancurkan kepercayaan korban dan publik terhadap institusi perlindungan yang dibentuk Pemerintah/UPTD. Penetapan status tersangka harus menjadi momentum untuk memastikan proses hukum yang tegas, transparan, dan tanpa intervensi,” ujar Yuniarti, S.H., Ketua LBHPB Bengkulu.

LBHPB menekankan bahwa pelaku yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dan menduduki posisi strategis di lembaga perlindungan, seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi korban, bukan justru menjadi pelaku kekerasan.

Dalam konteks ini, LBHPB menyoroti relevansi Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur bahwa pelaku pencabulan terhadap anak yang memiliki hubungan kekuasaan atau kepercayaan terhadap korban dapat dipidana dengan penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun serta dapat dikenai pidana tambahan berupa kebiri kimia dan pengumuman identitas pelaku.

“Dalam hal ini, tersangka LN selaku Kepala UPTD PPA jelas memiliki posisi kuasa dan kedekatan dengan korban yang sedang dalam kondisi rentan dan proses pemulihan. Maka, sudah seharusnya negara menggunakan pasal pemberatan hukuman secara maksimal agar memberi efek jera dan menegaskan bahwa jabatan tidak boleh menjadi tameng kekebalan,” tambah Yuniarti.

LBHPB sebelumnya juga telah melakukan audiensi dengan Pemerintah Kota Bengkulu pada tanggal 22 Juli 2025, yang dalam kesempatan tersebut diwakili oleh Asisten II dan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Daerah Kota Bengkulu.

Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menyatakan sikap tegas bahwa tidak akan mentolerir tindakan kekerasan seksual, tidak akan memberikan bantuan hukum bagi pelaku, serta menyatakan kesiapan untuk memberikan pendampingan maksimal bagi korban.

Pemerintah juga menyampaikan komitmen untuk mengganti Kepala UPTD PPA dengan sosok perempuan sebagai langkah strategis untuk memperbaiki kepercayaan publik dan memastikan kepekaan gender dalam institusi Perlindungan.

LBHPB mengapresiasi langkah cepat Pemerintah Kota dalam merespons kasus ini, namun menekankan bahwa langkah administratif harus diiringi dengan pengawalan proses hukum secara maksimal.

“Kami akan terus mengawal kasus ini agar tidak diselesaikan secara diam-diam atau dengan pendekatan damai. Pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan moral,” tegas LBHPB dalam pernyataannya.

Selain itu, LBHPB juga mengingatkan bahwa perhatian publik dan aparat penegak hukum tidak boleh hanya terfokus pada kasus LN. Masih terdapat tiga pelaku lain dalam kasus berbeda yang diduga melakukan tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur dan saat ini masih buron. Ketiganya telah ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh Penyidik Polresta Bengkulu.

LBHPB mendesak agar aparat kepolisian bergerak cepat dan tegas dalam memburu para pelaku tersebut dan segera memproses hukum mereka sesuai Pasal 81 ayat (1) jo Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang melakukan persetubuhan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

“Jangan sampai muncul kesan tebang pilih. Penegakan hukum harus adil dan menyeluruh. Semua pelaku kekerasan seksual terhadap anak wajib ditindak secara tegas, tanpa pandang bulu,” tegas Yuniarti.

Selain menuntut hukuman maksimal bagi pelaku, LBHPB juga mendorong pemulihan menyeluruh bagi korban, mencakup pendampingan psikologis, bantuan hukum, serta jaminan atas rasa aman di lingkungan sosialnya. (rls/LBHPB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *