
Rejang Lebong, tintabangsa.com – Praktik mencurigakan terungkap dalam proyek pembangunan jalan aspal di salah satu desa di Kecamatan Curup Selatan, Kabupaten Rejang Lebong.
Proyek yang didanai melalui Dana Desa Tahun Anggaran 2025 Tahap I ini disorot publik setelah diketahui bahwa material aspal HRS (Hot Rolled Sheet) yang digunakan berasal dari usaha milik YS, seorang konsultan perencanaan pembangunan desa.
YS membenarkan bahwa dirinya adalah konsultan teknis untuk sejumlah desa di Rejang Lebong, sekaligus memiliki usaha pengolahan aspal hotmix. Ia juga mengakui bahwa produk aspal yang dijual kepada desa merupakan hasil produksi sendiri, meskipun usaha tersebut tidak memiliki izin resmi sebagai pengolah.
“Saya memang konsultan di beberapa desa, saya juga punya usaha pengolahan aspal sendiri. Memang tidak ada izin pengolahan, tapi saya punya izin jual,” ujar YS saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (21/6).
“Aspalnya saya produksi sendiri, lalu saya jual ke desa-desa yang butuh. Selama ini tidak ada masalah,” tambahnya.
Permasalahan makin pelik ketika kepala desa—yang enggan disebutkan namanya—mengaku tidak mengetahui nama badan usaha atau CV yang digunakan YS untuk bertransaksi dengan pihak desa. Ia juga tidak bisa memastikan harga satuan aspal yang dibeli, dan menyebut bahwa pembelian dilakukan berdasarkan perhitungan kubikasi yang disampaikan langsung oleh pihak YS.
“Soal CV atau perusahaan yang dipakai YS, saya kurang tahu. Kami hanya tahu dia punya aspal dan bisa bantu,” ungkap Kepala Desa berinisial J, ditemui di kediamannya.
“Harga aspal juga saya tidak begitu paham. Kami hanya menerima hitungan kubikasi dari dia. Semua teknisnya dia yang hitung, kami tinggal bayar,” lanjut J.
Proyek jalan aspal yang dimaksud memiliki panjang 353 meter dan dianggarkan sebesar Rp269.496.000. Dari hasil analisis teknis, volume aspal yang digunakan diperkirakan sekitar 72,9 ton. Dengan harga pasar rata-rata Rp1.390.000 per ton, total biaya material diperkirakan hanya sekitar Rp101 juta.
Meski anggaran global proyek tersebut juga mencakup upah tenaga kerja dan komponen lainnya, selisih nilai yang besar tetap memunculkan pertanyaan terkait efisiensi dan akuntabilitas penggunaan Dana Desa.
Di sisi lain, praktik YS yang merangkap sebagai konsultan sekaligus penyedia material dinilai bertentangan dengan prinsip profesionalitas dalam pengadaan barang dan jasa. Hal ini berpotensi melanggar Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 yang secara tegas melarang konflik kepentingan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh anggaran negara.
Tidak hanya itu, pengakuan YS bahwa ia tidak memiliki izin pengolahan aspal juga menjadi catatan penting. Berdasarkan Permenperin No. 5 Tahun 2019, usaha pengolahan aspal tergolong kegiatan industri yang wajib memiliki izin produksi. Pelanggaran terhadap regulasi ini dapat menimbulkan sanksi administratif maupun pidana.
Minimnya keterbukaan dari pihak desa dalam menjelaskan proses pengadaan, identitas penyedia, hingga rincian harga, menunjukkan lemahnya implementasi prinsip transparansi dalam pengelolaan Dana Desa. Hal ini berpotensi bertentangan dengan ketentuan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Aparat pengawas dan penegak hukum didorong untuk menindaklanjuti kasus ini. Selain untuk memastikan tidak ada kerugian negara, penelusuran lebih lanjut juga penting agar Dana Desa tetap menjadi instrumen pembangunan yang bersih dari praktik manipulatif dan konflik kepentingan.