Penulis : Sausan Citra Ramadhanty
Perkenalkan, Saya Citra. Seorang mantan mahasiswa yang baru saja lulus dari bangku perkuliahan pada 2022 lalu. Saya seorang perempuan. Saya bukan seorang suci yang tak memiliki dosa. Tapi berbicara, menurut saya tidak ada salahnya.
Bicara perihal perempuan, Kabupaten Lebong adalah Kabupaten yang memiliki 51.900 Penduduk berjenis kelamin perempuan berdasarkan data BPS tahun 2020. Mungkin di tahun 2023 bertambah sekitar 1.000-2.000an penduduk berjenis kelamin perempuan. Saya salah satu penduduk yang barusaja menjadi data terbaru terkait bertambahnya penduduk perempuan di Kabupaten Lebong sejak setahun yang lalu.
Air
Sekarang Kabupaten Lebong sedang dilanda kekeringan. Masyarakat berteriak melalui diskusi pagi para ibu-ibu saat tukang sayur mulai mencari rezekinya, melalui postingan-postingan di sosial media yang setiap hari berseliweran di kanal-kanal publik maupun interaktif.
Perihal air, kebutuhan air bagi perempuan bukan hanya perihal persoalan sistem infrastruktur pembangunan saluran air bersih. Tapi justru menjadi hal-hal yang sifatnya personal. Kebutuhan air bagi perempuan dalam rumah tangga merupakan hal penting mengingat kebanyakan perempuan di Kabupaten Lebong bukanlah perempuan pekerja luar rumah. Kendati begitu, urusan air bersih menjadi persoalan bagi perempuan ketika tugas rumah tangga seperti mencuci piring dan memasak terkendala oleh ketiadaan air itu sendiri.
Berbicara Kabupaten Lebong, persoalan yang terjadi di Kabupaten jika dilihat oleh kacamata awam berpusat pada ketidak profesionalitasan perusahaan air minum daerah dalam memanaj perusahaan guna menyuplai kebutuhan air bagi masyarakat. Kendala demi kendala terjadi setiap tahun, yang padahal secara umum diketahui bahwa setiap tahun pula pemerintah daerah memberikan modal kepada perusahaan untuk membenahi perusahaan daerah tersebut.
Berdasarkan penelitian Unicef pada tahun 2015 dirilis dari kompas.id, pemenuhan kebutuhan air di delapan dari sepuluh rumah tangga diserahkan kepada perempuan dewasa dan anak perempuan di Dunia.
Dalam kondisi krisis air yang terjadi seperti sekarang. Pemerintah berbondong-bondong menawarkan bantuan bahkan tidak sedikit orang-orang yang memperjual belikan air yang jika dipandang secara politis adalah bentuk pencitraan ditengah-tengah solusi yang seharusnya bisa dilakukan oleh pemerintah. Beberapa kali pertahun, hibah yang diperuntukkan perusahaan daerah air minum untuk membenahi infrastruktur dan menjamin ketersediaan pasokan air dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun setiap tahun pula perusahaan tersebut gagal membenahi manajemen perusahaannya. Akibatnya, perusahaan merugi dan berdampak pada pendapatan daerah yang tidak sesuai dengan rencana anggaran pendapatan belanja daerah.
Sekarang, muncul peraturan kementerian ESDM terkait Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah. Aturan tersebut membuat perempuan kelabakan ketika krisis air menjadi persoalan mendadak dan genting yang seharusnya PDAM tersebut setiap tahunnya diawasi oleh pemerintah (dibaca: Eksekutif dan Legislatif) untuk menjamin kebutuhan masyarakat.
Lantas, apa yang kemudian dilakukan oleh pemerintan untuk perempuan yang setiap bulannya harus mencuci pembalut bekas menstruasi, untuk ibu-ibu yang baru sudah melahirkan? Terkait kebutuhan air minum, yang berdasarkan penelitian Menurut ahli nutrisi, Stacy Sims mengatakan bahwa perempuan bahkan membutuhkan konsumsi air lebih besar daripada pria.
Di Kabupaten Lebong, kami memiliki Wakil Rakyat (dibaca: DPR) yang bertugas sebagai petugas penyampai pesan kami kepada pemerintah (dibaca: Bupati dan Jajaran) yang menjalankan program yang “katanya” menciptakan masyarakat bahagia dan sejahtera. Di lembaga tersebut ada sekitar kurang lebih 4 orang perempuan yang menjadi perwakilan dari suara perempuan di daerah. Beberapa wakil tersebut berada di Komisi yang kebetulan membidangi dan menjadi mitra perusahaan daerah air minum yang setiap tahun diberikan modal oleh anggaran daerah yang berasal dari dana bagi hasil pendapatan daerah kepada pemerintah pusat maupun provinsi.
Namun, terkait urusan kepentingan yang seharusnya menjadi persoalan bagi wakil kami sebagai perempuan ini justru tidak pernah tampak di permukaan. Kadang saya berpikir, apa saya yang memang tidak dekat dengan wakil-wakil tersebut?!
Perempuan
Itu baru perihal air, Kabupaten Lebong hingga hari ini jika merujuk pada data kekerasan pada perempuan mencapai 16-23 kasus di tahun 2023 berdasarkan penyampaian dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB). Ini tidak semuanya muncul ke permukaan, penanganannya pun masih belum maksimal apalagi terkait pemulihan korban kekerasan.
Program-program yang dilaksanakan oleh Dinas sesekali terdengar sangat bagus ketika dipresentasikan di hadapan umum. Namun yang terjadi di lapangan, dari tahun ke tahun, angka perceraian tetap terjadi. Perempuan terpaksa menjadi janda karena banyak faktor yang notabenenya dipusatkan pada permasalahan ekonomi keluarga. Beberapa pengamatan empiris yang saya lakukan, masih banyak anak-anak perempuan dibawah umur hidup seakan seperti gelandangan. Pindah dari rumah ke rumah, berkumpul dengan sesama teman yang menurut mereka senasib dengan mereka. Terpaksa putus sekolah karena tidak memiliki biaya. Tapi itu hanya beberapa.
Menurut saya, pendidikan anak di rumah menjadi suatu hal penting yang dapat membuat anak-anak mampu bertahan dalam kondisi kehidupan yang seperti apapun untuk beradaptasi. Itu semua tidak terlepas dari peran pemerintah, Dalam lembaga pemerintahan, terdapat Lembaga Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang berasal dari istri-istri pejabat pemerintahan dari tingkat Kabupaten hingga Desa yang menurut saya akan mampu menjadi klaster terdekat karena memiliki tugas dalam membentuk Kesejahteraan Keluarga. Apalagi pelaku utama dalam lembaga tersebut adalah perempuan itu sendiri yang sering disebut sebagai madrasatul ula (sekolah utama, atau pendidikan utama).
Kalau peran Wakil Rakyat perwakilan perempuan sebagai representasi dari masyarakat perempuan di Kabupaten Lebong ini, program yang berkaitan kepentingan perempuan seharusnya menjadi perhatian bagi dewan. Melalui fungsi dan wewenang legislasi, pengawasan dan penganggaran yang dimiliki oleh dewan, seharusnya dewan perwakilan perempuan mampu mendongkrak dan membawa perempuan-perempuan di Kabupaten menjadi lebih potensial untuk mencapai kesejahteraannya.
Sayangnya, di dalam lembaga yang menjadi representasi dari rakyat tersebut dalam Komisi II (kalau di Kabupaten Kami) yang menjadi mitra DP3AP2KB justru tidak memiliki perwakilan perempuan didalamnya. Seluruh anggota Komisi II DPRD Kabupaten Lebong adalah laki-laki yang kalau membahas perihal urusan perempuan apalagi program soal perempuan biasanya kesulitan memahami kebutuhan perempuan, sehingga anggaran yang seharusnya disahkan menjadi program berkualitas untuk menunjang peradaban, justru dimanfaatkan sebagai sarana “numpang titip” anggaran bagi beberapa oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya ini menjadi perhatian serius bagi kaum perempuan di Kabupaten Lebong khususnya.
Anak
Anak adalah aset bagi negara dan perdaban, ketika anak-anaknya baik dan dididik dengan baik. Maka masa depan peradaban akan memungkinkan menjadi baik pula. Berdasarkan dari beberapa postingan sosial media bahkan artikel-artikel ilmiah yang membicarakan perihal generasi dan pertumbuhan generasi sejak jaman digital. Begitu banyak generasi-generasi anak yang tumbuh prematur. Beberapa di istilahkan dengan gelar Generasi Sandwich karena berhadapan dengan begitu banyak tekanan sosial dan ekonomi yang terjadi sekarang. Bahkan tak sedikit yang disebut-sebut memiliki mental yang mudah terserang stres.
Akibatnya, menurunnya angkatan kerja yang sebetulnya sangat dibutuhkan bagi kemajuan dan perkembangan negara dan peradaban. Generasi yang kemudian digadang-gadang rawan terserang stres ini kemudian rentan berhenti sekolah, berhenti mengikuti perkuliahan, berhenti membaca buku, berhenti membuat resume analisa hasil bacaan dari buku, berhenti menonton dan melakukan bedah film edukasi yang menurut saya secara awam, nantinya hal ini akan menyebabkan negara kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Hal tersebut disampaikan dalam Dokumen Nasional Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak dalam Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021.
Sejak direncanakannya program Kabupaten/Kota Layak Anak, hingga hari ini Daerah masih belum mampu mengakomodir regulasi terkait hak-hak anak tersebut. Padahal deklarasi sudah sempat dilakukan pada 2019 lalu. Bahkan draf raperda KLA sudah sempat diajukan, kata seorang mantan kabid PPA saat kami sembari ngopi di salah satu kedai di kawasan perkantoran di Kabupaten Lebong ini. Namun hingga hari ini, tidak pernah terdengar lagi perihal kabar Perda Kabupaten Layak Anak tersebut. Padahal kebijakan Nasional terkait hal ini merupakan salah satu langkah untuk menciptakan sistem integrasi yang berpihak dan akan menjadi jaminan masa depan bangsa ketika persoalan ini betul-betul diperhatikan.
Bukan hanya membentuk gugus tugas yang kemudian tidak tahu kemana program KLA tersebut akan dilakukan. Bukan hanya sekedar duduk kemudian mengisi indikator KLA setiap klaster tanpa ada realisasi kinerja yang nyata. Ditambah lagi kendala anggaran yang selalu menjadi momok tidak terjalannya kegiatan tersebut.
Wallahualam.
Kamis, 2 November 2023.
1.02 WIB