Kuasa Hukum Tersangka Kasus PAD Mega Mall & PTM Buka Suara: “Tidak Ada Dana Pemerintah, Jadi Di Mana Letak Korupsinya?”

HEADLINE1888 Dilihat


Bengkulu,Tintabangsa.com —Setelah sekian lama memilih bungkam, tim kuasa hukum empat tersangka kasus dugaan kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan Mega Mall (MM) dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu akhirnya angkat bicara. Mereka membantah keras tudingan yang mengarah pada tindak pidana korupsi dan menyebut proyek tersebut dibangun sepenuhnya dengan modal swasta, tanpa campur tangan dana pemerintah.

Kuasa hukum ini dari Empat tersangka dalam kasus ini adalah Kurniadi Benggawan, Hariadi Benggawan, Satriadi Benggawan dari PT Tiga Lestari, serta Chandra D. Putra, mantan pejabat BPN Kota Bengkulu. Tim kuasa hukum mereka, yang dikomandoi oleh Hema Simanjuntak, SH, MH dan Suhartono, SH, menyampaikan pembelaannya saat di konfirmasi Rabu (25/6).

“Kami menghormati proses hukum yang berjalan hingga saat ini, namun ada sejumlah kejanggalan yang harus kami luruskan menurut pandangan kami. Yang paling krusial adalah tidak ada sepeser pun dana APBD dalam pembangunan Mega Mall dan PTM. Lantas, kalau tidak ada kerugian keuangan negara, di mana letak korupsinya?” tegas Hema.

Salah satu poin lagi yang menjadi sorotan dalam kasus ini adalah soal jaminan aset dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) yang berdiri di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Pemkot. Bagi pihak kejaksaan, hal ini dianggap berpotensi merugikan negara karena terancam kehilangan aset. Namun menurut Hema, hal tersebut sepenuhnya diperbolehkan berdasarkan aturan agraria yang berlaku. HGB yang diberikan do atas HPL, memiliki masa berlaku, sehingga kontrol untuk memperpanjang HGB atau tidak masih ada pada Pemkot Bengkulu selaku pemegang HPL. Pemerintag tidak perlu khwatir kehilangan aset.

“UU Agraria memperbolehkan HGB di atas HPL untuk dijadikan agunan. Klien kami tidak asal ambil tanah negara, semua melalui prosedur dan masuk dalam adendum perjanjian kerja sama dengan Pemkot Bengkulu,” jelas Hema.

Menurutnya, tugas PT Tiga Lestari kala itu adalah untuk mencari modal pembangunan, sebab sebelumnya dengan pihak awal gagal, dan mereka berhasil mewujudkannya dengan kombinasi pinjaman bank, swasta bahkan mengucurkan dana pribadi yang diupayakan oleh PT Tigadi selaku pihak yang masuk kemudian.

Boro-boro merugikan megara, Klien kami PT Tigadi justru memiliki Jasa-jasa dalam mewujudkan Pembangunan MM dan PTM ini, sejak Klien kami masuk membantu projek dimaksud dari total kebutuhan anggaran awal proyek MM dan PTM mencapai Rp125 miliar, namun setelah atas inisiasi Klien kami, dilakukan kajian ulang, anggaran mengecil dan hanya Rp97 miliar. Dari jumlah tersebut, Rp34 miliar berasal dari pinjaman bank, dan sisanya dari pinjaman relasi bisnis dan dana pribadi. Ini tentunya yang pasang badan kan Klien kami. Perlu digaris bawahi, bahwa bangunan tidak mangkrak, pemerintah tinggal menubggu waktunya bagi keuntungan.”

“Kurniadi sebagai Direktur Utama, menyatakan bertanggung jawab penuh atas projek MM dan PTM dari sisi PT Tigadi. Sementara Hariadi dan Satriadi sebenarnya tidak tahu detail urusan projek MM dan PTM hanya tercatat secara akta, tidak ikut campur. Bahkan dari berkas yang kami pelajari, justru tercatat pada pembukuan PT Tigadi, bahwa dana pribadi dari Pak Satriadi dan Pak Harriadi masih ada pada PT Tigadi. Sehingga semakin aneh jika Klien kami SB dan HB naik menjadi Tsk.” tegas Hema.

Yang lebih disoroti lagi oleh pihak kuasa hukum adalah bahwa dalam perjanjian awal, bagi hasil hanya bisa dibagikan jika proyek sudah balik modal. Namun hingga saat ini, proyek masih belum balik modal. maka pemerintah harus memberi kepastian hukum dong dengan mitra kerjasamanya.

“Kalau proyek belum untung, ya jelas belum bisa bagi hasil. Ini bukan soal kemauan, tapi soal perhitungan bisnis. Masa pengusaha yang disuruh cari modal dan masih alami rugi, dituduh merugikan negara?” tanya Hema.

Sementara itu, Suhartono, salah satu kuasa hukum lainnya, menyoroti aspek kepemilikan lahan. Ia menyebut bahwa sebagian tanah tempat berdirinya MM dan PTM masih berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) milik masyarakat, yang hingga kini belum diganti rugi oleh pemerintah.

“Bagaimana mungkin lahan itu bisa dijadikan HPL dan diterbitkan HGB kalau masih ada pemilik sah yang belum dibayar? Ini fakta hukum yang akan kami sampaikan di pengadilan,” ungkap Suhartono.

Ia juga mempertanyakan mengapa kliennya dituduh korupsi, padahal penerbitan HPL dan HGB dilakukan atas dasar perjanjian resmi, dan proses perbankan sejauh ini berjalan lancar tanpa catatan buruk.

Lebih lanjut, Suhartono menyatakan bahwa HGB untuk proyek MM dan PTM memiliki jangka waktu kontrak selama 30 tahun sejak 2004, yang berarti saat ini baru berjalan 21 tahun. Selama periode itu, status HGB masih sah dan dapat digunakan sebagaimana mestinya, termasuk untuk diagunkan ke bank.

“Jadi tidak ada pelanggaran. Bahkan agunan ke bank juga tak bermasalah. Jika ingin bukti lengkap, silakan cek langsung ke pihak bank,” tantangnya.

Kedua pengacara sepakat bahwa perkara ini tidak seharusnya dibawa ke ranah pidana, apalagi dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Menurut mereka, ini murni permasalahan kontraktual yang seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata atau administratif.

“Pemerintah daerah dan pelaku usaha sama-sama punya peran dalam pembangunan. Tapi semua pihak harus paham porsinya. Jangan sampai yang sedang berusaha malah dikriminalisasi,” tutup Suhartono.

Dengan berbagai fakta yang mulai disampaikan ke publik, kasus MM dan PTM tampaknya belum akan menemukan titik terang dalam waktu dekat. Persidangan akan menjadi arena pembuktian sejauh mana tuduhan kerugian negara dapat dibenarkan secara hukum. Yang pasti, kuasa hukum empat tersangka sudah siap pasang badan.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *