Menelaah Dinamika Politik Kaum Santri

OPINI29 Dilihat

Penulis: Samsul Hadi 
Dosen Perbankan Syariah STIESNU Bengkulu

Tintabangsa.com – Berbagai peristiwa yang terjadi—baik di dunia nyata maupun maya—merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Fenomena alamiah yang terus terjadi menunjukkan betapa nilai-nilai Islam semakin menguatkan umatnya. Islam tidak mengalami kemunduran, sebaliknya, terus berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Awalnya, dakwah Islam dimulai di kota Makkah, sebuah wilayah tandus dan keras yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Perjalanan dakwah di sana menghadapi banyak tantangan, hingga akhirnya Nabi Muhammad saw. memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Di kota ini, Islam berkembang dengan pesat.

Islam yang tumbuh di Madinah tidaklah eksklusif sebagaimana yang kerap disalahpahami. Masyarakat Madinah lebih memihak kepada nilai-nilai kebenaran daripada kepada golongan tertentu. Hal ini tercermin dalam berbagai hadis Nabi saw. yang melarang tindakan diskriminatif terhadap kaum Dzimmi dan menjamin kesetaraan hak mereka. Piagam Madinah pun menjadi referensi yang penting, bahkan dalam perdebatan kontemporer, seperti perihal penggunaan istilah “kafir” oleh Majelis Ulama. Perlu dipahami bahwa istilah tersebut lebih bersifat identitas keagamaan, bukan status kewarganegaraan—yang oleh Nabi saw. disebut sebagai ra’iyyah (rakyat), sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Esensi dari Piagam Madinah sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka dari itu, dalam konteks penyebaran Islam ke berbagai wilayah dengan keragaman budaya dan adat, kaum Muslim dituntut untuk mampu menawarkan nilai-nilai kebangsaan yang relevan dengan masyarakat setempat. Penyebaran Islam tidaklah monolitik, tetapi menyesuaikan dengan dinamika zaman. Syekh Fakhruddin Ar-Rozi pernah menyatakan:

ينبغي للعاقل أن يكون حافظا للسانه عارفا بزمانه مقبلا على شأنه
“Orang berakal hendaknya menjaga lisannya, memahami konteks zamannya, dan menunaikan tanggung jawabnya.”
(Mafatih al-Ghaib, Dar al-Kutub)

Oleh karena itu, seorang santri tidak cukup hanya memahami teks secara literal, tetapi juga harus memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. Semangat “hubbul wathan minal iman” menegaskan bahwa mencintai tanah air merupakan bagian integral dari membela syariat. Sebab, stabilitas negara merupakan prasyarat untuk tegaknya syariat Islam secara utuh.

Santri juga perlu menyadari bahwa kita hidup di era negara bangsa, bukan lagi dalam sistem khilafah atau negara berbasis agama tertentu. Dalam sistem nasional modern, kehancuran sebuah bangsa berarti keruntuhan seluruh sistem yang menopang nilai-nilai sosial dan agama. Oleh karenanya, cinta tanah air harus disertai dengan semangat keislaman yang inklusif dan konstruktif.

Peran Strategis Kaum Sarungan

Semangat nasionalisme para tokoh dan ulama pesantren, terutama di lingkungan Nahdlatul Ulama, tidak diragukan lagi. Para kiai dan masyayikh telah lama menanamkan pentingnya membela tanah air sebagai bagian dari amanah keislaman.

Santri masa kini tidak boleh terjebak dalam cara berpikir yang sempit, hanya berorientasi pada hukum halal-haram secara kaku. Sebaliknya, mereka harus mampu mempertimbangkan aspek maslahat dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam era yang penuh ketegangan seperti sekarang, di mana isu agama sering kali menjadi pemicu konflik, kesadaran akan pentingnya nasionalisme menjadi hal yang sangat mendesak.

Kepemimpinan dalam Tradisi Santri

Dalam budaya pesantren, santri selalu berada dalam lingkaran bimbingan seorang kiai. Keterikatan ini membentuk relasi patron-klien yang khas, di mana ketaatan (sami’na wa atha’na) kepada kiai bukan sekadar budaya, tetapi juga jalan spiritual dalam meraih keberkahan ilmu. Hal ini menjadikan posisi kiai sangat strategis dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan kepada para santri.

Sebagaimana digambarkan oleh Gus Dur, kiai dalam konteks pesantren memiliki kedudukan yang kuat dan diakui. Mereka berperan sebagai penggerak utama dalam menjaga harmoni sosial dan kelestarian nilai-nilai keagamaan serta kebangsaan.

Penutup

Dalam konteks kontemporer, perlu kehati-hatian dalam membaca dinamika politik yang melibatkan tokoh-tokoh agama, khususnya kiai. Keputusan politik mereka tidak hanya berdasarkan dikotomi hitam-putih, melainkan juga mempertimbangkan rasionalitas dan nilai-nilai keagamaan yang lebih luas.

Dengan semangat Fiqh Kebangsaan, pesantren dan santri memiliki peran penting dalam merawat dan mengarahkan arah politik kebangsaan yang moderat, inklusif, dan berlandaskan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *