Sumatera utara, tintabangsa.com- Hiruk pikuk perkara Kompol. Cosmas Kaju Gae, anggota Brimob yang tersandung kasus kecelakaan dengan ojol, banyak yang teriak minta dia dipecat, di sisi lain justru ada suara yang minta dia diberi kesempatan pembelaan.
orang yang menolak pemecatannya terus dibanjiri tanda tangan, hingga mencapai angka fantastis hampir 175 ribu orang/ Jumat sore (5/9/2025) Kemarin.
175 ribu tanda tangan itu bukan cuma angka, tapi sebongkah dukungan yang menunjukkan ada banyak orang yang meragukan narasi yang beredar dan masih menghargai pengabdiannya selama ini.
Menanggapi hiruk-pikuk Perkara Kompol Cosmas.
Gusti Ramadhani, S.H., CLE, seorang praktisi hukum, kantor hukumnya di P.Siantar, Senin (08/09/2025).
Dalam pendapatnya Gusti mengatakan: bahwa jalan hukum tidak boleh dipersingkat oleh desakan massa, sebesar apapun itu. “Dalam negara hukum, status Kompol Cosmas masih ‘tersangka’ atau ‘terlapor’.
Ia tetap berhak dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Itu adalah hak konstitusional setiap warga negara, tanpa terkecuali, merujuk pada Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, ujar Gusti.
Gusti melanjutkan, jantung persoalannya terletak pada pembuktian unsur kesengajaan. “Tuduhan bisa menjurus ke penganiayaan atau kelalaian menyebabkan luka/mati.
Namun, tanpa bisa membuktikan bahwa itu dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian yang sangat fatal, kasus ini sangat mungkin tergolong sebagai kecelakaan lalu lintas murni yang diatur UU LLAJ,” paparnya.
Menurutnya, mengabaikan proses pembuktian ini sama saja dengan menginjak-injak keadilan prosedural.
Ia juga membedakan dengan tegas antara sanksi pidana dan sanksi disiplin. “PTDH adalah sanksi terberat dalam institusi Polri. Itu bukan keputusan yang bisa diambil secara instan hanya karena tekanan publik,” jelas Gusti.
Sidang kode etik, lanjutnya, wajib mempertimbangkan seluruh aspek secara proporsional, termasuk rekam jejak, faktor lingkungan kejadian, dan apakah ada sanksi lain yang lebih tepat seperti mutasi atau penempatan khusus. Di sinilah suara 175 ribu orang dalam petisi itu mungkin didengar. Bukan untuk membatalkan proses, tetapi sebagai pengingat agar sidang etik berlangsung adil dan mempertimbangkan semua sisi, termasuk pembelaan,” tambahnya.
Gusti merekomendasikan agar semua pihak menahan diri dan memberikan ruang bagi proses hukum dan etik berjalan secara independen. “Proses pidana harus objektif, sementara sidang etik perlu transparan.
Publik berhak marah, tetapi penegakan hukum yang matang justru melindungi semua pihak di masa depan, termasuk kita sendiri. Jangan sampai keputusan diambil berdasarkan emosi sesaat, bukan berdasarkan fakta dan hukum.
Kasus Kompol Cosmas menjadi cermin bagi bangsa Indonesia dalam memperlakukan setiap kasus hukum. Di satu sisi, ada duka dan tuntutan untuk keadilan bagi korban. Di sisi lain, ada hak fundamental untuk diduga tidak bersalah, dan proses yang fair.
Keduanya harus berjalan beriringan. Perbedaan pendapat adalah hal sehat, namun akhirnya, kebenaran hukum harus ditentukan di ruang pengadilan dan sidang etik yang berintegritas, bukan di ruang komentar media sosial atau daftar petisi daring, Tutupnya. (Salam Pranata)