72 Siswa Dinyatakan Tidak Memiliki Dapodik di SMAN 5 Bengkulu, Orang Tua Datangi Kantor DPRD

Bengkulu.tintabangsa.com- Permasalahan serius terjadi di SMA Negeri 5, Provinsi Bengkulu, ketika 72 siswa yang sebelumnya dinyatakan diterima secara resmi dan telah menjalani berbagai proses pendidikan selama sebulan tiba-tiba dianggap tidak memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada Selasa, 19 Agustus 2025.

Tidak adanya Dapodik berarti siswa tersebut tidak tercatat secara formal sebagai peserta didik di sekolah tersebut, meskipun mereka telah melalui tahapan pendaftaran ulang, mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), dan mulai menjalani kegiatan belajar mengajar.

Dampak psikologis dari kejadian ini tidak dapat diremehkan. Salah satu orang tua siswa mengungkapkan bahwa anaknya merasa sangat terpukul secara emosional.

“Anak saya mengalami kondisi psikologis yang buruk. Ia menangis sepanjang hari karena malu dan kesedihan yang bercampur,” ujarnya saat ditemui anggota DPRD Provinsi Bengkulu pada Rabu, 20 Agustus 2025.

Di sisi lain, orang tua siswa lainnya menyatakan bahwa anaknya jatuh sakit dan bahkan harus dirawat di rumah sakit akibat tekanan berat yang ia rasakan setelah dinyatakan tidak terdaftar. Kondisi ini turut memengaruhi kesehatan sang ibu.

“Anak kami sakit, saya juga ikut sakit. Keadaan psikologis anak tertekan sejak mengetahui dirinya tidak terdaftar, padahal sudah sebulan belajar dan memiliki teman baru,” ungkapnya.

Beberapa orang tua bahkan tak kuasa menahan tangis saat menyampaikan kondisi anak-anak mereka. Para wali murid kemudian memohon kebijakan dari pihak sekolah untuk menyelesaikan masalah ini dan meminta pertanggungjawaban atas kejadian yang menimpa anak-anak mereka.

Mereka mendatangi gedung DPRD Provinsi Bengkulu untuk menyampaikan keluhan sekaligus mengajukan tuntutan terkait ketidakjelasan status Dapodik para siswa.

Dari 72 siswa yang terdampak, sebanyak 42 wali murid hadir dalam pertemuan tersebut. Salah seorang wali murid, As, menjelaskan bahwa anaknya dinyatakan diterima secara resmi oleh panitia penerimaan siswa baru dan sudah mengikuti semua tahapan yang semestinya.

“Setelah dinyatakan diterima, kami melakukan pendaftaran ulang, anak saya kemudian mengikuti MPLS dan bersekolah selama sebulan. Akan tetapi, kami tiba-tiba dipanggil pihak sekolah yang menyatakan bahwa anak kami tidak tercatat di Dapodik dan diminta untuk pindah sekolah,” terangnya.

Kejadian ini memunculkan sejumlah anomali administratif yang membingungkan wali murid. Beberapa siswa yang disebut tidak memiliki Dapodik bahkan sempat mewakili sekolah dalam lomba tingkat nasional, membawa nama besar SMA Negeri 5, namun kini dianggap tidak terdaftar sebagai siswa resmi.

Salah satu siswa lainnya diketahui diterima melalui jalur tahfiz dan diminta menunggu karena di posisi cadangan penerimaan. Pada H-1 dimulainya pembelajaran, pihak sekolah menghubungi bahwa siswa tersebut akhirnya diterima, namun sebulan kemudian statusnya berubah menjadi tidak terdaftar. Kritik juga muncul terhadap jalur domisili yang semestinya memberikan prioritas bagi siswa yang tinggal dekat dengan sekolah.

Salah satu wali murid menyebut bahwa jarak rumahnya hanya 607 meter dari SMA Negeri 5 sesuai dengan ketentuan jalur domisili namun tetap mengalami nasib serupa.

Kejanggalan ini mendorong wali murid lain untuk mempertanyakan transparansi proses seleksi.

“Jika memang tidak ada data Dapodik sejak awal, mengapa anak-anak masih dipanggil untuk masuk sekolah? Kami bisa mencari alternatif sekolah lain jika diberitahu lebih dini,” ucap MG.

Akibat insiden ini, kesehatan fisik dan mental siswa juga terganggu. Beberapa siswa mengalami stres, menangis tanpa henti, hingga harus mendapat perawatan intensif akibat tekanan yang dialaminya.

Hal ini sangat mengecewakan bagi wali murid yang berharap anak-anak mereka dapat belajar dengan lancar di institusi pendidikan yang diinginkan.

Dalam respons terhadap isu tersebut, Kepala Sekolah SMA Negeri 5, Bihan, menjelaskan bahwa pihaknya berpatokan pada Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) serta Peraturan Gubernur (Pergub) dalam proses penerimaan siswa baru.

Ada empat jalur seleksi yang diterapkan: jalur prestasi akademik dan nonakademik, afirmasi, pindah tugas orang tua, serta domisili, dengan persentase tertentu untuk setiap jalur.

SMA Negeri 5 memiliki kapasitas 12 ruang kelas dengan jumlah maksimum 36 siswa per kelas sesuai regulasi nasional. Namun demikian, penjelasan tersebut belum sepenuhnya menyelesaikan kegelisahan para wali murid mengenai

Kelas 1.1 hingga 1.12 diatur dengan kapasitas maksimal 36 siswa per kelas. Namun, dalam pelaksanaan seleksi penerimaan siswa baru, terdapat sejumlah kendala yang mengindikasikan ketidaksesuaian dengan prosedur yang ditetapkan.

Bihan, salah satu pihak yang bertanggung jawab dalam proses ini, mengungkapkan bahwa selama masa seleksi ia sempat mengalami gangguan kesehatan yang memerlukan perawatan.

Pada 21 Juli, setelah kembali ke sekolah, ia segera melakukan inspeksi ke seluruh kelas tingkat I. Dari hasil pemeriksaan tersebut, Bihan menemukan adanya ketidaktertiban dalam proses seleksi. Ia mengidentifikasi bahwa setiap ruang kelas seharusnya berisi 36 siswa; ironisnya, terdapat hingga 43 siswa dalam setiap kelas.

Kondisi ini memicu evaluasi internal yang lebih mendalam, di mana diperoleh fakta bahwa puluhan siswa tidak memiliki data resmi dalam sistem Dapodik di SMA Negeri 5.

Untuk merespons situasi tersebut, Bihan mengambil langkah dengan memanggil seluruh orang tua siswa yang anaknya tidak tercatat di sistem Dapodik. Ia menawarkan solusi kepada mereka untuk mencari alternatif sekolah lain.

Menurutnya, ia hanya dapat mempertanggungjawabkan data siswa yang telah terverifikasi dan sesuai dengan kuota yang berlaku, yakni 36 siswa per kelas. Di luar itu, ia menegaskan bahwa tanggung jawabnya menjadi terbatas.

Ketua Komisi IV DPRD, Usin Abdisyah Sembiring, turut menyoroti permasalahan ini saat menerima sejumlah orang tua siswa. Dalam pandangannya, kesalahan tidak hanya terletak pada satu pihak, melainkan melibatkan sekolah, dinas pendidikan, serta pola pikir sebagian orang tua.

Menurut Usin, para orang tua berupaya memasukkan anak-anak mereka ke SMA Negeri 5 dengan segala cara, termasuk tindakan tidak etis seperti menitipkan nama anak atau memberikan sejumlah uang kepada pihak terkait. Sebagai upaya penyelesaian, dalam rapat koordinasi disepakati pembentukan tim khusus yang melibatkan DPRD, dinas pendidikan, pihak sekolah, serta perwakilan wali murid.

Tim ini akan bertugas menangani kasus tersebut secara menyeluruh, termasuk mencarikan alternatif sekolah dengan kuota penerimaan siswa yang masih tersedia. Usin juga mengimbau para orang tua agar tidak bersikeras mempertahankan anak mereka di SMA Negeri 5 jika kondisinya sudah tidak memungkinkan.

Sementara itu, DPRD menegaskan komitmennya untuk melakukan investigasi internal guna mengidentifikasi pihak-pihak yang menjadi aktor utama dalam permasalahan ini demi memastikan kasus serupa tidak terulang di masa depan.(TB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *