Kepala Desa Berdemo untuk Kepentingan Pribadi: Di Mana Letak Batas Hukumnya?

BERITA, HEADLINE, SUMUT342 Dilihat

Sumatera utara, tintabangsa.com—
Oleh: Gusti Rmd, S.H., Cle. (Aktivis Hukum), Minggu (06/07/2025). Demonstrasi adalah hak warga negara dalam negara demokrasi. Namun bagaimana jika yang turun ke jalan bukan rakyat biasa, melainkan kepala desa yang notabene adalah pejabat publik, dan lebih dari itu—mereka berdemo bukan untuk memperjuangkan kepentingan warganya, melainkan untuk memperpanjang masa jabatan atau melindungi diri dari jerat hukum?

Aksi kepala desa yang belakangan menuntut perpanjangan masa jabatan dari enam menjadi sembilan tahun menuai banyak reaksi. Di satu sisi, mereka berdalih demi stabilitas dan kelanjutan pembangunan desa. Namun di sisi lain, tidak sedikit yang menilai bahwa ini hanyalah bentuk pembungkusan kepentingan pribadi dalam narasi publik.

Jika benar demikian, maka kepala desa tidak hanya melakukan pelanggaran moral, tetapi juga terancam konsekuensi hukum.

Pertama, mereka berpotensi melanggar etika jabatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa. Kepala desa adalah pelayan masyarakat, bukan pemilik kekuasaan. Aksi dengan muatan kepentingan pribadi mencoreng prinsip netralitas dan akuntabilitas pemimpin publik di tingkat lokal.

Kedua, bila dana desa atau fasilitas negara digunakan dalam mobilisasi aksi, maka masuk ke ranah penyalahgunaan anggaran, yang bisa dijerat melalui Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Fakta ini harus menjadi perhatian serius aparat penegak hukum dan inspektorat daerah.

Ketiga, jika demonstrasi menimbulkan gangguan ketertiban umum atau menyebarkan informasi yang menyesatkan, maka mereka juga bisa dikenai sanksi pidana lain seperti penghasutan atau penyebaran hoaks.

Ironisnya, sebagian dari kepala desa yang berdemo ini sedang dalam sorotan atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan korupsi. Maka wajar jika publik melihat aksi mereka bukan sebagai bentuk perjuangan demokratis, tetapi upaya mempertahankan zona nyaman.

Masyarakat desa seharusnya menjadi pihak yang paling lantang menolak politisasi jabatan. Jika kepala desa sudah tak lagi berpihak pada rakyat, maka demokrasi desa menjadi rapuh. Pemimpin lokal harus diingatkan kembali bahwa kekuasaan bersifat sementara, dan hanya bermakna jika digunakan untuk kepentingan banyak orang, bukan untuk melindungi diri sendiri.

Kita semua tentu mendambakan desa yang mandiri dan berkeadilan. Tapi itu hanya bisa terwujud jika pemimpinnya punya integritas, bukan hanya ambisi untuk terus menjabat.(SP/TB)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *