Komandan Kontingen IPO Polri UNMISS di Sudan Selatan, di Tengah Badai, Menjaga Asa

HEADLINE23 Dilihat

Sudan Selatan – Bertugas sebagai Komandan Kontingen Individual Police Officer (IPO) Polri di bawah misi PBB United Nations Mission in South Sudan (UNMISS) bukanlah sekadar penugasan luar negeri biasa. Ini adalah panggilan kemanusiaan yang menguji keteguhan mental, kedewasaan, profesionalisme, serta kualitas kepemimpinan dalam situasi yang sangat kompleks. Sudan Selatan, negeri termuda yang lahir dari luka-luka panjang sejarah, terus diguncang oleh konflik berkepanjangan, krisis kemanusiaan, dan instabilitas politik yang nyaris tak berkesudahan. Menjadi bagian dari misi perdamaian PBB di tanah ini berarti berada di garis depan peradaban, mengabdi bagi kemanusiaan di tengah situasi yang kerap nyaris tak manusiawi.

Sudan Selatan resmi merdeka pada 9 Juli 2011, setelah puluhan tahun dilanda perang sipil yang brutal dengan Sudan. Kemerdekaan itu diraih melalui referendum damai yang disambut gembira oleh mayoritas rakyat di wilayah selatan, yang selama ini merasa terpinggirkan secara politik, ekonomi, dan identitas budaya. Namun, euforia kemerdekaan itu tak berlangsung lama. Negara baru ini segera tenggelam dalam konflik internal, perpecahan elite, serta krisis kemanusiaan yang menghantam berbagai lini kehidupan rakyatnya.

Sebagai Komandan Kontingen IPO Polri, saya memimpin rekan-rekan polisi Indonesia sejumlah 18 personel, yang tergabung dalam UNPOL – kepolisian internasional PBB – untuk menjalankan mandat perdamaian di tengah realitas yang sarat ketidakpastian. Di lapangan, kami menghadapi fluktuasi keamanan yang tinggi, kekerasan berlatar belakang etnis (SARA), pembunuhan, pemerkosaan, hingga konflik komunal yang mencabik rasa kemanusiaan. Dalam kondisi ekonomi yang lemah, masyarakat sipil juga dihadapkan pada ancaman penyakit mematikan seperti kolera, malaria, HIV/AIDS, dan ebola, yang kerap muncul bersamaan dengan musim hujan yang juga kerap menimbulkan bencana banjir parah di hampir sebagian besar wilayah Sudan Selatan serta buruknya infrastruktur layanan kesehatan.

Sebelum bisa mengemban tugas mulia ini, saya harus melalui proses seleksi yang sangat ketat di tingkat nasional maupun internasional. Proses dimulai dari pre-test oleh Divhubinter Mabes Polri, dilanjutkan dengan pelatihan teknis intensif serta penguasaan bahasa Inggris dan pengenalan sistem kerja PBB. Namun tantangan sesungguhnya datang saat mengikuti Assessment for Mission Service (AMS) Test yang diselenggarakan oleh Tim UNSAAT dari Markas Besar PBB di New York. Tes ini tidak main-main: mencakup ujian tertulis berbasis komputer, pemahaman teknis kepolisian internasional, etika profesi, serta kemampuan komunikasi dalam situasi multikultural. Persaingan sangat ketat karena hanya yang memenuhi standar tinggi PBB yang dapat lolos.

Setelah dinyatakan lulus dan diterima, datanglah fase yang lebih menantang: menghadapi kenyataan lapangan di Sudan Selatan. Salah satu pengalaman paling mengesankan adalah saat saya mengunjungi kamp pengungsian (IDP Camp) di wilayah Juba. Di tengah kesederhanaan yang memilukan, namun semangat belajar para murid di kamp pengungsian patut kita apresiasi. Kita di Indonesia yang sudah sangat berkecukupan walau masih dijumpai keterbatasan, perlu banyak bersyukur atas nikmat karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerah negara kita tercinta.

Selain tantangan-tantangan yang dihadapi di medan tugas, situasi politik Sudan Selatan juga kian kompleks dengan ditundanya pemilihan umum yang sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 26 Desember 2024. Penundaan selama dua tahun ini membawa dampak signifikan terhadap stabilitas nasional. Tidak hanya menurunkan kepercayaan publik terhadap proses transisi politik, tetapi juga memperdalam ketegangan antara kelompok-kelompok yang bersaing. Ketiadaan legitimasi elektoral berisiko menciptakan kekosongan kekuasaan dan membuka celah bagi aktor-aktor bersenjata non-negara untuk mengeksploitasi situasi. Hal ini secara langsung berimplikasi terhadap tugas-tugas pemeliharaan perdamaian yang dijalankan oleh UNMISS dan kontingen polisi PBB, termasuk IPO Polri yang bertugas. Stabilitas politik yang tidak menentu membuat situasi keamanan semakin fluktuatif, mempersulit upaya mediasi dan perlindungan warga sipil, serta meningkatkan risiko bagi personel internasional di lapangan.

Di tengah kerasnya medan penugasan, saya merasa bersyukur dan bangga atas Indonesia. Kondisi dalam negeri kita yang jauh lebih stabil – baik secara politik, ekonomi, keamanan, maupun sosial – adalah anugerah besar yang kadang tidak kita sadari. Stabilitas itu memungkinkan kita mengirim personel terbaik untuk membantu negara lain yang tengah berjuang. Saya selalu menyampaikan kepada warga lokal dan rekan-rekan peacekeeper dari negara lain bahwa Indonesia bukan hanya negara besar, tapi juga negara yang hadir untuk dunia.

Berinteraksi dengan peacekeeper dari berbagai negara – baik dari kalangan militer, kepolisian, maupun pejabat sipil PBB – adalah pengalaman yang memperkaya cara pandang dan memperkuat nilai kerja sama lintas budaya. Kami berdiskusi, bertukar pikiran, dan bekerja bersama dalam satu semangat yang sama: melindungi warga sipil dan membangun perdamaian.

Misi perdamaian bukan tentang heroisme pribadi, melainkan tentang kontribusi kolektif untuk dunia yang lebih manusiawi. Sebagai Komandan Kontingen IPO Polri, saya merasa terhormat memimpin putra-putri terbaik bangsa dalam tugas mulia ini. Kami membawa nama Indonesia, bukan dengan senjata atau arogansi, melainkan dengan sikap profesional, empatik, dan bersahaja. Di tanah asing yang penuh luka, kami membawa cahaya kecil harapan – bahwa keadilan, kedamaian, dan masa depan yang lebih baik bukanlah utopia.

Juba, Sudan Selatan, AKBP Darmawan Dwiharyanto (Komandan IPO Polri UNMISS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *