Tintabangsa.com – Perbankan syariah bukan hanya sekadar alternatif dalam sistem keuangan, tetapi merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat yang mendambakan sistem finansial yang berlandaskan etika dan keadilan. Berdasarkan prinsip-prinsip Islam seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (spekulasi), perbankan syariah menawarkan model bisnis yang lebih transparan, berbasis pada kemitraan dan pembagian risiko dalam kerjasama bisnis.
Salah satu kekuatan utama perbankan syariah adalah pendekatannya yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan sosial. Produk-produk seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kemitraan), dan qardh (pinjaman kebajikan) dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi riil serta mendukung sektor UMKM yang selama ini kerap terpinggirkan dalam sistem perbankan konvensional.
Namun, meski memiliki pondasi yang kuat, perbankan syariah masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama dalam hal literasi keuangan masyarakat dan inovasi produk. Belum semua kalangan memahami cara kerja dan keunggulan perbankan syariah, sehingga persepsi yang keliru kerap menghambat penetrasinya di pasar yang lebih luas. Selain itu, agar tetap kompetitif, bank syariah harus mampu mengadopsi teknologi finansial dan memperkuat kualitas sumber daya insani yang memahami baik prinsip syariah maupun dinamika pasar modern.
Dengan regulasi yang mendukung, edukasi masyarakat yang masif, dan inovasi berkelanjutan, perbankan syariah memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung perekonomian yang tidak hanya kuat secara finansial, tetapi juga berkeadilan sosial. Dalam dunia yang semakin haus akan keadilan ekonomi dan keberlanjutan, perbankan syariah hadir bukan hanya sebagai solusi, tetapi sebagai keniscayaan.
Persaingan dalam industri perbankan syariah kian hari kian ketat. Hal ini bisa dilihat dari semakin banyaknya bank syariah yang berlomba-lomba menawarkan produk inovatif, memperluas jaringan digital, hingga melakukan transformasi organisasi demi meningkatkan daya saing. Namun, apakah persaingan ini menjadi tantangan atau justru peluang?
Dalam konteks positif, persaingan bisa mendorong peningkatan kualitas layanan, efisiensi operasional, serta inovasi produk yang lebih sesuai dengan kebutuhan nasabah. Misalnya, munculnya layanan mobile banking syariah yang ramah pengguna atau pembiayaan syariah berbasis sektor halal economy menjadi bukti bahwa bank syariah mulai keluar dari zona nyaman.
Namun, di sisi lain, persaingan ini juga memunculkan tantangan tersendiri. Banyak bank syariah yang masih menghadapi keterbatasan dari sisi modal, teknologi, dan SDM. Dalam beberapa kasus, mereka harus bersaing langsung dengan bank konvensional yang memiliki unit usaha syariah (UUS) dan sumber daya jauh lebih besar. Di tengah kondisi ini, bank syariah murni (full-fledged) dituntut untuk lebih gesit dan adaptif.
Ke depan, persaingan di industri ini tidak bisa hanya mengandalkan keunggulan “syariah” semata. Masyarakat semakin cerdas dan kritis; mereka tidak hanya menuntut kesesuaian syariah, tetapi juga kenyamanan, kecepatan, dan transparansi dalam layanan. Maka, keunggulan kompetitif harus dibangun dari kombinasi nilai-nilai syariah dan performa bisnis yang prima. Dengan pendekatan kolaboratif, adopsi teknologi digital, dan fokus pada segmen pasar strategis seperti UMKM, milenial muslim, dan ekonomi halal, persaingan dalam perbankan syariah justru bisa menjadi momentum emas untuk naik kelas. Dalam dunia bisnis, persaingan bukanlah ancaman—ia adalah motor penggerak inovasi dan profesionalisme.
Meskipun bank syariah terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun, pangsa pasarnya di Indonesia—negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia—masih belum sebesar yang diharapkan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: mengapa sebagian masyarakat belum menggunakan layanan bank syariah? Salah satu alasan utama adalah rendahnya literasi keuangan syariah di kalangan masyarakat. Banyak orang belum memahami perbedaan mendasar antara bank konvensional dan bank syariah, sehingga menganggap keduanya “sama saja, hanya beda istilah.” Tanpa pemahaman yang memadai, sulit mengharapkan perubahan perilaku keuangan.
Selain itu, persepsi bahwa bank syariah kurang fleksibel, lebih rumit, atau hanya cocok untuk kalangan religius masih menjadi hambatan psikologis. Padahal, prinsip-prinsip syariah tidak hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga menawarkan pendekatan keuangan yang etis, transparan, dan berbasis kemitraan—nilai-nilai universal yang bisa diterima siapa saja.
Keterbatasan layanan digital dan jaringan cabang juga membuat sebagian masyarakat enggan beralih. Di era modern ini, kenyamanan dan kecepatan layanan menjadi pertimbangan utama. Jika bank syariah tidak mampu menyamai kecepatan transformasi digital seperti yang dilakukan bank konvensional, maka masyarakat akan tetap setia pada pilihan lamanya.
Tak kalah penting adalah faktor kepercayaan. Beberapa orang masih mempertanyakan sejauh mana praktik bank syariah benar-benar sesuai syariah, mengingat sistem keuangan syariah tetap harus bersinggungan dengan regulasi dan instrumen keuangan nasional yang bersifat universal.
Dengan memahami alasan-alasan ini, bank syariah seharusnya tidak hanya fokus pada label “syariah”, tetapi juga membangun keunggulan dari sisi kualitas layanan, edukasi publik, dan inovasi produk. Karena pada akhirnya, keputusan masyarakat untuk memilih bank bukan hanya soal prinsip, tapi juga soal kebutuhan, kenyamanan, dan kepercayaan.