Kecerdasan Buatan: Teman atau Ancaman bagi Mahasiswa di Era Digital?

OPINI22 Dilihat

​​​​​​​Penulis: Ade Riska 
Dosen Perbankan Syariah STIESNU Bengkulu

Tintabangsa.com – Di era digital yang serba cepat dan kompetitif, kehadiran kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan tinggi. Mahasiswa kini tidak hanya bergelut dengan buku dan dosen di kelas, tetapi juga dengan teknologi canggih yang mampu menjawab pertanyaan, menyusun esai, bahkan menyelesaikan soal dalam hitungan detik. Namun, di balik segala kemudahan yang ditawarkan, muncul pertanyaan besar: apakah AI adalah teman yang membantu, atau justru ancaman yang menggerus nilai-nilai akademik dan menghambat kapasitas berpikir manusia?

Di satu sisi, AI terbukti sangat membantu mahasiswa dalam memahami materi kuliah, menyusun referensi, hingga mengasah kemampuan berpikir kritis jika digunakan dengan bijak. Aplikasi seperti ChatGPT, Grammarly, atau Google Scholar yang berbasis AI memungkinkan mahasiswa belajar secara mandiri, cepat, dan efisien. AI menjadi ‘teman setia’ saat mahasiswa menghadapi tenggat tugas atau ujian. 

Namun, disisi lain, penggunaan AI secara tidak etis dapat mengancam integritas akademik. Ketika mahasiswa hanya menyalin jawaban tanpa memahami isi, atau mengandalkan AI sepenuhnya dalam menyusun karya ilmiah, maka proses belajar yang seharusnya membentuk karakter dan pola pikir justru terabaikan. AI bisa menjadi ‘musuh dalam selimut’ yang meninabobokan semangat belajar mandiri dan kemampuan berpikir. Bayangkan, mahasiswa yang terbiasa menggunakan AI untuk menganalisis suatu masalah, tentu akan semakin sedikit menggunakan kapasitas analisis pemikirannya sendiri, ini dapat menyebabkan ketergantungan. Ibarat istilah ‘pisau akan tumpul jika jarang diasah”, yang dapat dianalogikan pada kapasitas kognitif yang jarang digunakan untuk berpikir kritis, tentu juga akan semakin tumpul. Hal ini tentu juga akan menodai peran mahasiswa sebagai agent of change yang mana pemikiran kritis merupakan hal utama yang dibutuhkan.

Lebih jauh lagi, ketergantungan terhadap AI dapat mengurangi kemampuan analisis, kreativitas, dan orisinalitas mahasiswa. Padahal, nilai seorang sarjana tidak hanya diukur dari seberapa cepat ia menyelesaikan tugas, tetapi juga dari kemampuannya berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan menghasilkan gagasan baru.

Maka dari itu, perlu adanya kesadaran bersama—baik dari mahasiswa, dosen, maupun institusi—untuk membangun budaya literasi digital dan etika penggunaan AI. Kehidupan manusia yang berdampingan dengan teknologi tentu dapat membuat suatu perubahan besar terhadap tantangan zaman. AI seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti proses belajar. Pada akhirnya, AI seolah dapat menjadi dua mata pisau, dapat menjadi teman ataupun ancaman bagi mahasiswa, tergantung dari bagaimana kita memanfaatkannya. Mahasiswa yang bijak bukanlah mereka yang menghindari teknologi, tetapi yang mampu menggunakannya secara bertanggung jawab untuk tumbuh dan berkembang di era digital. 

Penggunaan AI juga harus tetap menggunakan sebuah pemikiran kritis untuk menentukan sejauh mana AI dapat membantu sebuah pekerjaan, bukannya justru menggantikan manusia untuk berpikir kritis terhadap suatu permasalahan. Karena pada dasarnya, kolaborasi antara teknologi dan manusia yang beretika akan menghasilkan pembelajaran yang lebih adaptif, cerdas, dan bermakna. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *