Lubuklinggau, tintabangsa.com — Di suatu sudut Kota Lubuklinggau, di mana sejarah dan kenangan kemerdekaan semestinya bersinar, kini hanya diisi sebuah pemandangan yang menciptakan perasaan campur aduk di hati warganya.
Di tempat yang dulu diisi oleh semangat perjuangan dan suara merdeka, kini hanya tersisa lapangan kurma yang tampak seakan menjadi simbol betapa “bersejarahnya” buah yang manis dan lezat ini.
Sambil menghirup udara segar dari daun-daun kurma yang bergelantungan di sekitar, hati tidak bisa tidak merenung tentang betapa pentingnya lapangan merdeka yang kini telah dihapus dari peta kota ini. Dalam keadaan di mana pepatah bijak menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah, sepertinya pemerintah setempat sedang berusaha membuktikan bahwa mereka punya cara yang cukup unik untuk menunjukkan kebesaran bangsa dengan menghilangkannya.
Lapangan merdeka, yang dulu menjadi saksi bisu dari perjuangan dan kemenangan, kini telah digantikan oleh lapangan kurma. Hati seakan bertanya-tanya apakah para pejuang kemerdekaan dulu pernah membayangkan bahwa warisan bersejarah mereka akan diubah menjadi tempat untuk menikmati buah kurma di bawah terik matahari.
Sungguh luar biasa bagaimana Pemerintah setempat mampu menggantikan semangat nasionalisme dengan aroma manis buah kurma. Mungkin, di sana, mereka beranggapan bahwa “Merdeka” lebih dikenang melalui rasa manis di lidah daripada melalui kenangan sejarah yang diwariskan oleh para pahlawan.
Siapa yang pernah berpikir bahwa menarik pelajaran dari masa lalu bisa seceria menikmati sejumput kurma? Pertanyaan-pertanyaan itu melayang dalam sanubari jiwa ketika melihat lapangan kurma yang sekarang menjadi pusat perhatian.
Apakah keputusan ini hanya masalah selera, ataukah ini adalah simbol kebijakan yang mengarah pada pelupakan sejarah? Mungkin pemerintah sedang berusaha memperkenalkan konsep baru: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang merasa kenyang dengan kurma, bukan kenangan apalagi hikmah perjuangan.”
Seiring dengan semakin redupnya jejak sejarah di Kota Lubuklinggau, mungkin waktunya bagi kita untuk merenung. Apakah kita benar-benar akan menjadi bangsa yang besar jika kita memilih untuk menggantikan sejarah dengan sesuatu yang lebih manis dan sementara? Hanya waktu yang akan memberi jawaban, tetapi satu hal yang pasti, lapangan merdeka dan pepatah bijaknya tampaknya telah menjadi korban dari perubahan pemandangan yang tidak dapat dihindari di kota ini.
Berjalan kedepan tim awak media mencoba berbincang dengan Kepala Unit Museum Perjuangan Subkos Garuda Sriwijaya Sisca Arie Hanika, wanita ini dengan menggebu menjelaskan betapa pentingnya nilai sejarah lapangan merdeka bagi bangsa ini. Sehingga secara perlahan mulai kehilangan identitas sejarah, kemudian dapat mengurangi pemahaman generasi muda tentang sejarah karena ketidakmampuan mempertahankan nilai sejarah yang ada.
“Sangat penting, semodern apapun suatu daerah hendaknya jangan menghilangkan lapangan merdeka, tempat sejarah yang sarat histori dengan perjuangan rakyat. Kami bersama dengan para sejarawan Kota Lubuklinggau pernah berdiskusi dengan Pemerintah menolak mengenai perubahan Lapangan Merdeka menjadi Lapangan Kurma, namun apa daya kita enggak ada kekuatan akhirnya tetap dilakukan,” ungkapnya kepada awak media dengan perasaan sedih Jum’at (24/11/2023).
Mengutip sedikit cerita dari tokoh sejarah Kota Lubuklinggau H. Swandi Sam, bahwa lapangan tersebut dulunya disebut City Square yang sudah berdiri pada tahun 1933, selama masa penjajahan kolonial Belanda dan Jepang lapangan ini dijadikan tempat mengatur strategi berbagai peperangan oleh pejuang, dimana markas tentaranya persis berada di Gedung Museum Perjuangan Subkos Garuda Sriwijaya saat ini. Dari sinilah kemudian menjadi cikal bakal penobatan nama Lapangan Merdeka dan diproklamirkan setelah kemerdekaan Republik Indonesia pada 30 Desember 1949.
“Dulu lapangan merdeka namanya City Square kenapa diberi nama City Square karena disitu dulu rumah jabatan kontelir, dan kenapa menjadi lapangan merdeka karena pada tanggal 30 Desember 1949 pengakuan kedaukatan dan penyerahan Musi Ulu dari Negara Belanda ke Republik Indonesia,” kata seorang sejarawan Kota Lubuklinggau H. Swandi Sam kepada Linggauklik, Kamis (13/8/2020).
Dijelaskan Swandi Sam, Pada tahun 1949 sampai dengan sekarang, usianya sudah mencapai 71 tahun dan semua yang sudah berusia 50 tahun keatas harus menjadi cagar budaya. Namun dirinya menyayangkan lapangan merdeka malah dihilangkan.
“Sayakan cuma sejarawan dan saya bukan pejabat yang berwenang boleh atau tidak, ketika saya mengatakan tidak boleh tetapi pemerintah mengatakan boleh mau diapakan,”terangnya.
Menurut Swandi alun-alun Lapangan merdeka yang kini beralih fungsi menjadi Taman Kurma merupakan sebuah pengelabuan sejarah dan cagar budaya.
“Kalau di Padang Cagar budaya tidak ada yang bisa diganggu, jadi ketika saya mati siapa yang tahu dengan lapangan merdeka dan kini tinggal kenangan”keluhnya.
Awak media kemudian berlanjut mengunjungi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lubuklinggau untuk meminta sedikit keterangan bagaimana proses penghapusan lapangan merdeka saat itu dilakukan, yang kemudian digantikan dengan lapangan kurma, namun mengalami kebuntuan karena tidak ada pejabat yang bersedia menyambut pertanyaan tersebut.(SY)