Bengkulu, Tintabangsa.com – Pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2001 menimbulkan reaksi yang bermacam-macam bagi daerah. Pemerintah Daerah dengan kekayaan alam yang berlimpah menyambut baik kebijakan otonomi daerah, sebaliknya daerah dengan sumber daya alam yang relatif lebih sedikit menyambut kebijakan ini dengan penuh kekhawatiran. kekhawatiran beberapa daerah tersebut bisa dipahami, pasalnya pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi menuntut Pemerintah Daerah untuk lebih mandiri baik dari sistem pembiayaan maupun penentuan arah kebijakan dan pembangunan daerah.
Pelaksanaan otonomi daerah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Untuk menjamin kelangsungan pelaksanaan otonomi daerah dari sisi pendanaan maka dibuatlah Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang akan mengatur pendapa. Harapannya dengan adanya peraturan khusus tentang otonomi daerah ini, pelaksanaan otonomi daerah dapat mendorong peningkatan partisipasi dan kreativitas masyarakat serta mendorong pemerataan pembangunan daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di daerah masing-masing tanpa harus mengkhawatirkan sumber dana yang sangat terbatas.
Pelaksanakan kebijakan dan kegiatan pemerintahan tidak dapat dipisahkan dengan sumber dan pembiayaan belanja daerah atau yang biasa dikenal dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD). APBD tersusun dari beberapa komponen, yaitu PAD (Pendapatan Asli daerah); Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Alokasi Khusus (DAK); Dana Bagi Hasil (DBH) dan Lainnya. Dari komponen penyusun APBD tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa APBD merupakan alat untuk menjalankan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab sekaligus dapat menggambarkan kemandirian suatu daerah. Keuangan daerah yang mandiri tercermin dari besarnya proporsi sumber penerimaan yang berasal dari PAD. Sebaliknya ketergantungan suatu daerah terhadap pusat bisa diamati dari besarnya proporsi dana transfer atau dana perimbangan. Lalu apakah saat ini provinsi Bengkulu sudah mandiri atau masih sangat bergantung pada pemerintahan pusat?.
Saat ini, Sebagian besar APBD Provinsi Bengkulu masih bersumber dari pemerintah pusat/ pendapatan transfer dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Lainnya. Sedangkan pendapatan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih sangat kecil. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang diperoleh dari Survei Keuangan Pemerintah Daerah, pada tahun 2021 rasio PAD Provinsi Bengkulu (Pemda Provinsi Bengkulu dan 10 Pemerintah Kabupaten/Kota) mencapai 12,26 persen dari realisasi pendapatan daerah yang mencapai Rp12,25 T. Rasio PAD tersebut cukup untuk mengkatagorikan Bengkulu sebagai daerah yang belum mandiri, pasalnya menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan bahwa “Standar internasional menyebutkan bahwa daerah bisa disebut mandiri fiskal manakala pendapatan asli daerah (PAD) minimal 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),”. Meskipun demikian, tingkat kemandirian ekonomi provinsi Bengkulu dapat dikatakan membaik. Hal ini dikarenakan Rasio PAD Provinsi Bengkulu yang meningkat sebesar 0,40% dibandingkan dengan tahun 2020, dimana rasio PAD hanya mencapai 11,86 persen.
Jika dilihat lebih detail berdasarkan tingkat kabupaten/kota, maka kita dapati bahwa terdapat beberapa daerah yang mengalami peningkatan PAD dengan peningkatan tertinggi terjadi pada Kabupaten Bengkulu Utara yang naik dari 6,56 persen tahun 2020 menjadi 8,01 persen pada tahun 2021. Sementara daerah yang mengalami penurunan rasio PAD paling besar adalah Kabupaten Seluma yang menurun dari 7,30 persen pada tahun 2020 menjadi 3,62 persen pada tahun 2021. Sedangkan berdasarkan ranking rasio PAD, maka kita dapati Pemda Provinsi Bengkulu selalu menunjukkan tingkat PAD yang paling tinggi dari kabupaten/kota lain di Provinsi Bengkulu. Pada tahun 2021 rasio PAD Pemda Provinsi Bengkulu mengalami peningkatan dari 25,56 persen pada tahun 2020 menjadi 29,93 persen pada tahun 2021. Kota Bengkulu tertinggi kedua dengan rasio sebesar 15,32 persen, diikuti Kabupaten Bengkulu Utara dengan rasio PAD mencapai 8,01 persen. Sementara rasio PAD yang paling rendah tahun 2021 adalah Kabupaten Lebong yang hanya mencapai 2,48 persen. Diikuti Kabupaten Bengkulu Tengah, Kaur, dan Seluma masing-masing sebesar 3,05 persen, 3,62 persen, dan 3,91 persen.
Dilihat dari rasio PAD tersebut, kontribusi PAD Provinsi Bengkulu terhadap APBD relatif sangat kecil dan dapat dikategorikan rendah atau dibawah 20 persen, ini berarti Provinsi Bengkulu masih sangat tergantung terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat. Kondisi tersebut memerlukan strategi yang tepat dalam meningkatkan PAD seperti memaksimalkan sumber daya alam pertanian dan keindahan wisata alam. Semoga kedepan pemerintah daerah lebih fokus dalam meningkatkan PAD, lebih optimal dalam menggali potensi sumber-sumber penerimaan daerah, lebih optimal dalam pelayanan publik, dan lebih optimal dalam pengembangan sistem informasi pengelolaan keuangan daerah, sehingga impian “Masyarakat Kuat Bengkulu Hebat” menjadi sebuah kenyataan. (TB)